Menurut Hamka, Khauf merupakan rasa takut yang timbul karena adanya azab, siksa dan kemurkaan dari Allah. Oleh sebab itu diri seseorang mesti meneliti keadaannya dengan cara bermuhâsabah dan bermurâqabah, kemudian memberikan perhatian kepadanya sehingga terlihat mana aib dan cacat diri, serta kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. .
Mengenai perintah untuk memiliki rasa takut, Allah berfirman di dalam al Qur’an;
وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُؤمِنِينَ
“Maka takutlah kamu kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman” (QS.Ali Imran: 175)
Melalui firman Allah ini Hamka memberikan penjelasan tentang ketegasannya untuk senantiasa meletakkan posisi rasa takut yang ada pada diri manusia hanya kepada Allah semata. Betapapun banyaknya musuh yang dihadapi seseorang, tidak perlu sangsi menghadapinya, sebab yang diperjuangkan oleh seorang muslim di dalam seluruh hidupnya tidak lain hanyalah kebenaran yang datang dari Allah. Lantaran itu tidak ada kegentaran menghadapi maut. Karena hidup itu sendiri tidak ada artinya kalau tidak ada keberanian menghadapi segala macam kemungkinan di dalam mempertahankan pendirian.
Tentang sifat takut yang berkonotasi negatif Hamka sebutkan sebagai sesuatu yang lahir dari sifat jubun (kemarahan yang telah dingin membeku). Yaitu rasa takut karena menyangka, adanya bahaya atau perkara yang tidak diinginkan. Ia membayangkan terjadinya sesuatu yang belum pasti terjadi baik perkara besar maupun kecil. Menurut Hamka, rasa takut seperti ini akan menghilangkan rasa kebahagiaan, sebab hidup yang bahagia adalah hidup yang mempunyai persangkaan dan pengharapan yang baik, cita-cita yang kuat, angan-angan yang teguh, dan jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh, Hamka menyebutkan keberadaan seseorang yang enggan berniaga karena takut rugi, enggan menyewa toko besar takut tidak terbayar sewanya, enggan beristri takut tidak terbelanjai nafkahnya. Oleh karenanya dalam bukunya yang lain Hamka menasehatkan; “Jangan takut menghadapi suatu kegagalan karena dengan kegagalan itu kita juga akan dapat memperoleh pengetahuan tentang segi-segi kelemahan, atau kekuatan diri kita yang akan ditakuti ialah gagal dua kali dalam satu hal yang serupa.” Juga pada alinia lain Hamka bernasihat: “Jangan takut jatuh, karena tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang yang tidak pernah mencoba berusaha. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.”
Di samping rasa takut yang banyak jumlahnya itu, Hamka secara lebih khusus menyoroti sikap takut terhadap sesuatu yang disebut “kematian.” Dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka memberikan porsi sangat banyak untuk membicarakan masalah ini panjang lebar. Menurut Hamka, seseorang takut mati dikarenakan enam hal; (1) tidak tahu hakikat mati, (2) tidak insaf kemana kita pergi sesudah mati, (3) takut kena siksa, (4) tidak tahu kemana diri sesudah mati, (5) takut sedih akan meninggalkan harta, (6) takut sedih karena meninggalkan anak. Oleh sebab itulah, persaan takut seperti ini harus dilawan dengan pemahaman yang benar terhadap hakikat kematian secara menyeluruh. Artinya, seseorang mesti memiliki ilmu yang benar mengenai proses kematian dan akhir dari perjalanannya. Hamka sendiri menegaskan bahwa rasa takut terhadap kematian yang bersifat negatif ini di sebabkan oleh kebodohan.
Sebenarnya, takut akan kematian akan membawa dampak positif bila kemudian disikapi dengan baik pula. Rasa takut akan kematian akan menimbulkan tindakan positif berupa persiapan diri untuk menghadapinya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Qhurtibi dalam kitabnya “At Tadzkirah fî Ahwâlil Mauta wa Umûril âkhirah.” Ia mengutip pendapat Ad Daqôq yang mengatkan bahwa; “Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan dikaruniai tiga keutamaan. Pertama, dimudahkan dirinya untuk bertaubat, kedua, diberikan sikap qanâ’ah pada hati, dan ketiga, mampu untuk rajin dalam beribadah.
Hamka menambahkan tentang keadaan manusia dalam mengingat mati ada tiga golongan; (1) tidak mengingatnya sama sekali, (2) mengingatnya dengan kegentaran dan ketakutan, (3) mengingatnya dengan akal budi dan hikmah. Adapun kelompok yang terakhir inilah, yang sanggup mengambil hikmah dari potensi rasa khauf yang ada dalam dirinya.
Mengenai perintah untuk memiliki rasa takut, Allah berfirman di dalam al Qur’an;
وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُؤمِنِينَ
“Maka takutlah kamu kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman” (QS.Ali Imran: 175)
Melalui firman Allah ini Hamka memberikan penjelasan tentang ketegasannya untuk senantiasa meletakkan posisi rasa takut yang ada pada diri manusia hanya kepada Allah semata. Betapapun banyaknya musuh yang dihadapi seseorang, tidak perlu sangsi menghadapinya, sebab yang diperjuangkan oleh seorang muslim di dalam seluruh hidupnya tidak lain hanyalah kebenaran yang datang dari Allah. Lantaran itu tidak ada kegentaran menghadapi maut. Karena hidup itu sendiri tidak ada artinya kalau tidak ada keberanian menghadapi segala macam kemungkinan di dalam mempertahankan pendirian.
Tentang sifat takut yang berkonotasi negatif Hamka sebutkan sebagai sesuatu yang lahir dari sifat jubun (kemarahan yang telah dingin membeku). Yaitu rasa takut karena menyangka, adanya bahaya atau perkara yang tidak diinginkan. Ia membayangkan terjadinya sesuatu yang belum pasti terjadi baik perkara besar maupun kecil. Menurut Hamka, rasa takut seperti ini akan menghilangkan rasa kebahagiaan, sebab hidup yang bahagia adalah hidup yang mempunyai persangkaan dan pengharapan yang baik, cita-cita yang kuat, angan-angan yang teguh, dan jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh, Hamka menyebutkan keberadaan seseorang yang enggan berniaga karena takut rugi, enggan menyewa toko besar takut tidak terbayar sewanya, enggan beristri takut tidak terbelanjai nafkahnya. Oleh karenanya dalam bukunya yang lain Hamka menasehatkan; “Jangan takut menghadapi suatu kegagalan karena dengan kegagalan itu kita juga akan dapat memperoleh pengetahuan tentang segi-segi kelemahan, atau kekuatan diri kita yang akan ditakuti ialah gagal dua kali dalam satu hal yang serupa.” Juga pada alinia lain Hamka bernasihat: “Jangan takut jatuh, karena tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang yang tidak pernah mencoba berusaha. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.”
Di samping rasa takut yang banyak jumlahnya itu, Hamka secara lebih khusus menyoroti sikap takut terhadap sesuatu yang disebut “kematian.” Dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka memberikan porsi sangat banyak untuk membicarakan masalah ini panjang lebar. Menurut Hamka, seseorang takut mati dikarenakan enam hal; (1) tidak tahu hakikat mati, (2) tidak insaf kemana kita pergi sesudah mati, (3) takut kena siksa, (4) tidak tahu kemana diri sesudah mati, (5) takut sedih akan meninggalkan harta, (6) takut sedih karena meninggalkan anak. Oleh sebab itulah, persaan takut seperti ini harus dilawan dengan pemahaman yang benar terhadap hakikat kematian secara menyeluruh. Artinya, seseorang mesti memiliki ilmu yang benar mengenai proses kematian dan akhir dari perjalanannya. Hamka sendiri menegaskan bahwa rasa takut terhadap kematian yang bersifat negatif ini di sebabkan oleh kebodohan.
Sebenarnya, takut akan kematian akan membawa dampak positif bila kemudian disikapi dengan baik pula. Rasa takut akan kematian akan menimbulkan tindakan positif berupa persiapan diri untuk menghadapinya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Qhurtibi dalam kitabnya “At Tadzkirah fî Ahwâlil Mauta wa Umûril âkhirah.” Ia mengutip pendapat Ad Daqôq yang mengatkan bahwa; “Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan dikaruniai tiga keutamaan. Pertama, dimudahkan dirinya untuk bertaubat, kedua, diberikan sikap qanâ’ah pada hati, dan ketiga, mampu untuk rajin dalam beribadah.
Hamka menambahkan tentang keadaan manusia dalam mengingat mati ada tiga golongan; (1) tidak mengingatnya sama sekali, (2) mengingatnya dengan kegentaran dan ketakutan, (3) mengingatnya dengan akal budi dan hikmah. Adapun kelompok yang terakhir inilah, yang sanggup mengambil hikmah dari potensi rasa khauf yang ada dalam dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar