Kamis, 17 November 2011

Ikhlas dalam Beragama

Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,
artinya : Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.

Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Jika kita mengacu kepada rukun yang pertama, maka supaya suatu perbuatan dapat diterima oleh Allah, harus dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai landasannya, antara lain harus didahului dengan niat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena pentingnya hadits tersebut, imam Bukhari—diikuti oleh banyak penyusun hadits lainnya—meletakkannya diawal kitabnya al-Jami’ al-shahih. Ini menunjukkan pentingnya niat dan melepaskan diri dari berbagai kepentingan pribadi dan dunia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan untuk kehidupan akhirat. Lebih tegas lagi mereka mengatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat Islam, atau bahkan sepertiganya.
Selain itu, secara praktis setiap perbuatan harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh nabi SAW., sebagaimana sabda beliau yang, artinya: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak. (HR. Muslim)

Selanjutnya bila kita mengacu pada rukun yang kedua, supaya amal perbuatan diterima oleh Allah, maka amal tersebut harus bersih dari perbuatan syirik. Artinya setiap amal perbuatan harus didasari keikhlasan kepada Allah SWT.. Karena ikhlas sangat erat kaitannya dengan kemurnian tauhid, aqidah yang benar, dan tujuan yang jelas. Hal ini sangat beralasan, terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia bersikap ikhlas yang diturunkan pada periode Mekkah yang terdapat dalam surat az-Zumar ayat 3 yang artinya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar..
Lawan dari sikap ikhlas adalah sikap riya’. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), maka riya’ adalah beribadat atau beramal karena manusia atau karena selain Allah. Menurut Abu Bakar al-Jazaa’iri, hakikat riya’ adalah keinginan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Tetapi motifnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kehormatan di kalangan manusia.
Meskipun riya’ tersebut merupakan penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Lebih lanjut, al-Jazaa’iri merincikan beberapa tanda orang yang riya’ sebagai berikut:
1. Seseorang yang bertambah ketaatannya bila dipuji, tetapi berkurang atau bahkan meninggalkan bila mendapat celaan dan ejekan.
2. Tekun bila beribadat di depan orang banyak, tetapi malas bila sendirian.
3. Mau memberi sedekah bila dilihat orang banyak, tetapi enggan bila tidak ada orang yang melihatnya.
4. Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Melainkan karena manusia juga atau semata-mata karena pamrih kepada manusia.

Sikap riya’ merupakan salah satu bagian dari syirik yang dapat membuat amal kebajikan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang artinya: Sesungguhnya yang paling saya takutkan terhadap sesuatu yang saya takuti menimpa kalian adalah syirik yang terkecil. Mereka bertanya: Apakah syirik yang terkecil itu wahai Rasulullah?, jawabnya adalah riya’. Pada hari kiamat nanti, ketika seorang hamba akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka kerjakan, Allah SWT. akan berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia, dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka atas apa yang kalian kerjakan.

Di dalam al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang sia-sianya amal seseorang karena bermotifkan riya’, seperti diuraikan dalam surat al-Baqarah: 264. Pada ayat ini dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia adalah bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat sehingga menjadi bersih tanpa bekas. Maka demikianlah sia-sianya amal (infak) orang-orang yang riya’ dan musyrik, bagi mereka tidak ada balasan (pahala) di akhirat nanti.
Hal yang serupa juga dijelaskan dalam surat al-ma’un ayat 4-6, yaitu berupa ancaman bagi orang-orang yang melakukan shlat dengan lalai dan berbuat riya’. Demikian juga diuraikan dalam surat al-Taubah: 107 perihal orang-orang yang membangun mesjid yang tujuannya untuk menimbulkan kemudharatan dan perpecahan di kalangan orang-orang mukmin.
Dari beberapa penjelasan dan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa amal yang benar dan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam belum pasti diterima oleh Allah SWT. jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas dan dikerjakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Demikian pula sebaliknya, niat yang ikhlas semata-mata belum menjamin amal perbuatan seseorang akan diterima Allah SWT. jika tidak sesuai dengan yang telah digariskan syari’at islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar