Rabu, 30 November 2011

KEUTAMAAN TAUBAT


Tobat mengantarkan seorang hamba kepada keutamaan, kemuliaan, ketinggian derajat, dan pahala yang sangat besar. Tobat menghapus segala macam dosa. Tobat menuntun pelakunya ke jalan yang lurus untuk menggapai ridha dan cinta Allah, membuka pintu rezeki, menurunkan hujan, dan limpaha berkah dan karunia.
“Dan (dia berkata), ‘Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa,’” (QS HUD [11]: 52).
Al-Hafizh Ibnu katsir berkata, “Kemudian Hud memerintahkan kaumnya beristighfar karena dengan beristighfar dosa-dosa yang lalu dapat di hapuskan, kemudian memerintahkan mereka bertobat untuk masa yang akan mereka hadapi. Siapa memiliki nsifat seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rezekinya, melancarkan urusanya dan menjaga keadaanya. Karena itu Allah berfirman, ‘Niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu,’” [16]
Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri,” (QS Al-Baqarah [2]: 222).
Dari Abu Nujaid Imran bin Al-Husnain Al-Khuza’I,
bahwa sesungguhnya ada seorang wanita dari juhainah yang hamil karena zina dang mendatangi Rasulullah Dia berkata, “Wahai Nabi Allah, aku telah melanggar hukuman had, maka tegakkanlah hukuman atas diriku!” Nabi memanggil wali wanita tersebut dan berkata “Perlakukanlah Dia dengan baik, jika telah melahirkan datangkanlah kepadaku!” Dia melaksanakanya, Kemudian Rasulullah memerintahkan wanita tersebut agar merapatkan pakaian-nya dan memerintahkan agar wanita tersebut dirajam. Kemudian beliau menshalatinya.
Umar berkata kepada Rasul, “Wahai Rasulullah, engkau menshalatinya, sedangkan dia telah melakukan zina?” Rasul menjawab: “Dia telah bertobat dengan sungguh-sungguh. Jika tobatnya dibagi kepada tujuh puluh penduduk madinah, maka akan cukup bagi mereka. Apakah kamu menemukan orang yang lebih mulia daripada orang yang secara sungguh-sungguh ingin membersihkan dirinya semata-mata karena (mencari ridha) Allah Ta’ala?” [17]
Hadits ini memberi pengertian betapa luhurnya tobat di hadapan Allah. Jika bukan karena tobat, Rasulullah tidak akan menshalati wanita itu. Tidak akan beliau mengungkapkan bahwa tobat perempuan itu cukup untuk dibagi kepada tujuh puluh penduduk Madinah.
Renungkanlah, dosa dan kesalahan apa yang telah diperbuat oleh lisanmu,tanganmu,kakimu,telingamu,dan matamu. Lakukanlah tobat atas dosa-dosamu. Koreksilah dirimu sekarang juga, daripada engkau dikoreksi pada Hari Kiamat.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Hasyr [59]: 18).
Umar bin Khaththab berkata, “Timbanglah diri kalian sebelum (amal) kalian ditimbang, hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Jika kalian mengoreksinya sekarang, akan lebih mudah bagi kalian di Hari Penghisaban nanti. Berbekallah unutk menghadapi ‘ardhul akhbar (pada hari Allah mengajak bicara semua hamba-Nya).
“Pada hari itu kamu dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatupun dari keadaanmu yang tersembunyi (bagi Allah,” (QS Al-Haqqah [69]: 18).
[“Ya Allah, Ampuni Aku”; Zaenal Abidin Bin Syamsudin ; PUSTAKA IMAM ABU HANIFAH ; Kedua ; Hal. 26-29 ]
___
Footnote:
[16]  Tafsir ibnu Katsir, 4/231 Lihat pula, Tafsir Al Qurthubi, 9/35.
[17]  Shahih diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahih-nya (4408), Imam Abu Daud dalam sunan-nya (4440), Imam At-tirmidzi dalam Sunan-nya (1435), dan Imam Nasa’I dalam Sunan (1956)
[18] Lihat Hilyatul Auliya, Abu Nu’aim. 1/135.

Rabu, 23 November 2011

Peristiwa di Bulan Syawal dalam Islam


Syawal adalah bulan ke sepuluh di dalam kalender islam. Syawwal menurut akar katanya berartinaik, ringan, atau membawa (mengandung). Disebut demikian karena dahulu, ketika bulan-bulan hijriyah masih ‘disesuaikan’ dengan musim (praktek interkalasi), suhu meningkat karena berada pada musim panas seperti halnya Ramadhan. Selain itu, biasanya orang Arab mengamati bahwa pada bulan inilah unta-unta mengandung atau menaikkan ekornya sebagai tanda tidak mau dikawini. Karenanya, orang Arab juga memiliki kepercayaan bahwa bulan ini ‘tidak baik’ dan melihat pernikahan di bulan Syawal akan berakhir sial. Kepercayaan ini dihapus oleh islam dengan peristiwapernikahan Nabi Muhammad saw. di bulan tersebut (lihat di bawah).

Peristiwa Ibadah

Hari pertama di bulan Syawal, tentu saja merupakan Hari Raya Idul Fitri bagi umat islam setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Pada 1 Syawal, kaum muslimin keluar rumah untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. (Lihat juga Kumpulan ucapan selamat idul fitri)
Hari-hari berikutnya di bulan Syawal merupakan kesempatan untuk ‘menyempurnakan’ puasa ramadhan dengan Puasa Enam Hari di bulan Syawal. Dengan tambahan puasa enam hari ini, kaum muslimin bisa memperoleh pahala setara dengan puasa satu tahun.
Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).
Bulan Syawal juga merupakan awal dimulainya bulan-bulan ibadah haji, karena sejak bulan inilah diperbolehkan berniat ihram untuk melakukan ibadah haji. Umrah yang dilakukan pada bulan ini juga bisa digabung dengan ibadah haji di bulan Dzulhijjah sehingga menjadi Haji Tammatu.

Peristiwa Sejarah

27 Syawal, Perjalanan Nabi saw. ke Thaif, tahun ke-10 kenabian.
13 Syawal, kelahiran ahli hadits Imam Bukhari
Syawal 1 H, Perang Bani Qainuqa
17 Syawal 3 H, Perang Uhud
Kelahiran Siti Aisyah dan pernikahannya dengan Nabi Muhammad saw. terjadi di bulan Syawal.
29 Syawal, pernikahan Fatimah dengan Ali ra.
Syawal 4 H, Pernikahan Nabi saw. dengan Ummu Salamah
Syawal 4 H, Kelahiran cucu Nabi saw., Hussain.
18 Syawal 5 H, Perang Khandaq (Ahzab, Parit)
6 Syawal 8 H, Perang Hunain
Demikianlah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari berbagai peristiwa ibadah dan sejarah di dalam islam yang terjadi di bulan Syawal ini.

Kamis, 17 November 2011

Keistimewaan Orang-orang yang Ikhlas

Orang-orang yang ikhlas merupakan orang-orang yang bersih dari dosa karena mereka telah berusaha membersihkan dirinya dengan benar-benar melaksanakan segala perintah Allah denga tulus. Dalam beraqidah mereka benar-benar mengesakan Allah SWT. dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain seperti halnya orang-orang musyrik, yahudi dan nasrani. Selanjutnya dalam melakukan ibadah dan amal kebajikan lainnya mereka kerjakan semata-mata karena Allah dan untuk Allah; bukan karena manusia dengan cara riya’ dan sum’ah, untuk mendapatkan popularitas dan kesenangan hawa nafsu lainnya. Oleh karena itu wajar kiranya terhadap orang-orang yang ikhlas ini Allah SWT. menganugrahkan keistimewaan dan kelebihan kepada mereka, baik dalam kehidupan duniawi dan ukhrawinya.
Apabila kita kembali merujuk kitab suci al-Qur’an, maka akan kita temukan di dalamnya beberapa ayat yang menerangkan keistimewaan dan keutamaan orang-orang yang ikhlas, antara lain sebagai berikut.
Pertama, selamat dari kesesatan. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah dalam surat al-Hijr: 39-40 yang artinya sebagai berikut:
Iblis berkata: “Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma’siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. Kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka”. Dan begitu juga firman Allah dalam surat Shad ayat 82-83 yang artinya sebagai berikut: Iblis menjawab: “Demi kekuasan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka”.

Ayat di atas merupakan penggalan kisah Nabi Adam dan pembangkangan pertama yang dilakukan oleh iblis terhadap Allah SWT. Mereka adalah hamba Allah yang membangkang, durhaka, ingkar, sombong dan terkutuk yang diberi umur panjang—karena perminyaan mereka—hingga mendekati hari kiamat. Mereka ingin menyesatkan semua manusia untuk diajak ke neraka dengan bujuk rayunya yang manis. Maka berdasarkan ayat di atas, orang-orang yang ikhlas tidak akan dapat digoda oleh iblis dan sekutunya karena mereka telah mendapatkan perlindungan dari Allah SWT.
Kedua, dapat mengendalikan hawa nafsu. Hawa nafsu merupakan salah satu potensi yang ada dalam diri manusia yang selalu cendrung untuk mengajak manusia kepada kesenangan-kesenangan badaniah, pemuasan syahwat dan keinginan-keinginan rendah lainnya. Hal ini sebagaimana diterangkan Allah dalam al-Qur’an surat Yusuf: 53 yang artinya sebagai berikut: Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Di antara orang yang tidak mudah diperbudak oleh hawa nafsunya adalah orang-orang yang ikhlas. Seperti dikisahkan dalam surat Yusuf: 24 tentang Yusuf yang diajak berselingkuh oleh seorang wanita (Zulaikha), istri seorang raja Mesir. Namun berkat perlindungan Allah, ia selamat dari godaan hawa nafsu yang akan menjerumuskannya ke dalam kema’siatan.
Dengan demikian, sikap ikhlas akan membentengi manusia dari segala dorongan dan bujukan hawa nafsu, seperti keinginan terhadap kemewahan, kedudukan, harta, popularitas, simpati orang lain dan sebagainya. Di mana untuk mewujudkan keinginan-keinginannya tersebut kadang-kadang seseorang cenderung melakukan segala cara seperti dengan melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Di samping itu juga tidak segan-segan untuk menjilat atasan dan menginjak bawahannya, asalkan tujuannya tercapai.
Ketiga, do’anya akan dikabulkan Allah SWT.. Dalam menjalani kehidupannya di dunia, manusia seringkali dihadapkan kepada berbagai problema kehidupan yang tidak dapat ditanggulangi oleh dirinya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, manusia biasanya baru menyadari akan kelemahannya dan tidak henti-hentinya berdo’a kepada Allah supaya cepat terbebas dari problema yang dihadapinya. Meskipun demikian, Allah SWT. akan tetap mengabulkan permohonan mereka jika memang dilakukannya dengan penuh keikhlasan. Sebagaimana dalam firman Allah dalam surat Lukman ayat 32 yang artinya sebagai berikut: Dan apabila mereka dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai di daratan, lalu sebagian mereka tetap menempuh jalan yang lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat Kami selain orang-orang yang tidak setia lagi ingkar.
Selain ayat di atas, penjelasan yang serupa juga terdapat dala surat Al Ankabut : 65 dan Yunus : 22. Dalam ayat tersebut diterangka tentang diselamatkannya orang-orang yang ingkar dari amukan badai dan gelombang lautan disebabkan do’a mereka yang penuh keikhlasan. Ketika menafsirkan ayat tersebut (Yunus : 22), al-qurthubi berkomentar, bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia akan kembali kepada Allah seraya berdo’a kepada-Nya ketika menghadapi kesulitan, dan sesungguhnya orang-orang yang dalam keadaan terjepit (bahaya) akan dikabulkan do’anya sekalipun ia orang kafir, disebabkan keikhlasan mereka kembali kepada Allah.
Di samping beberapa ayat di atas, juga terdapat hadits Rasulullah SAW. Yang menerangkan tentang dikabulkannya do’a orang yang ikhlas. Di antaranya dikisahkan dalam sebuah hadits yang cukup panjang mengenai tiga orang yang terperangkap dalam sebuah goa yang tertutup oleh sebongkah batu besar akibat longsor. Kemudian ketiga orang itu bertawassul kepada Allah dengan perbuatan yang telah dilakukannya yang benar-benar ditujukan kepada Allah seraya berdo’a : Ya Allah, jika aku melakukan perbuatan ini karena mencari ridha-Mu, maka mudahkanlah kesulitan kami. Maka Allah-pun memudahkan kesulitan mereka, mereka dikeluarkan dari dalam goa dengan selamat.
Keempat, terhindar dari siksaan neraka dan masuk kedalam syurga di akhirat. Sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Shaffat : 40, 74, 128,160, dan 169. Ayat – ayat tersebut menjelaskan orang – orang yang telah disucikan Allah dari segala dosa dan noda sehingga menjadi orang – orang pilihan dan kesayangan-Nya.di dunia mereka telah diselamatkan dari segala kehinaan dan bencana, seperti yang dialami kaum Nabi Nuh, kaum ‘Ad, Tsamud dan kaum yang ingkar lainnya. Sementara di akhirat nanti mereka akan terbebas dari siksaan api neraka, serta akan mendapatkan balasan yang sempurna atas amal saleh yang telah mereka lakukan berupa kenikmatan di dalam surga yang tiada tandingannya, kenikmatan yang belum pernah terlintas pada pendengaran, penglihatan, dan hati manusia. Itulah balasan dari Allah SWT kepada orang – orang yang ikhlas dalam beraqidah, beribadah, dan bermuamalah.

Ikhlas dalam Beragama

Menurut al-Jarjaani, pengertian ikhlas secara etimologis adalah menjauhkan perbuatan pura-pura (riya’) dalam melakukan ketaatan. Sedangkan secara terminologis, ikhlas adalah membersihkan hati dari segala noda yang dapat memperkeruh kejernihan. Sementara itu menurut al-Alma’i, definisi ikhlas secara syar’i adalah seseorang yang dalam perkataan, perbuatan dan jihadnya semata-mata ditujukan untuk Allah seraya mengharapkan keridhaan-Nya.
Dari kedua definisi di atas dapat dipahami bahwa ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah dan mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan, harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah Allah yang tercantum dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 162-163, artinya : Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).”
Demikian juga dalam firman-Nya yang terdapat dalam surat al-Bayyinah ayat 5,
artinya : Mereka tidak disuruh kecuali untuk mengabdikan dirinya kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dengan menjalankan agama secara benar, yaitu dengan mendirikan shalat dan menunaikan zakat; itulah yang disebut sebagai agama yang lurus.

Selain pada ayat di atas, perintah untuk ikhlas dalam beragama, yakni menunaikan ibadah dan ketaatan kepada Allah, juga terdapat dalam surat az-Zumar: 2,11,14, al-A’raf: 29, dan surat Ghafiir: 14 dan 65.
Dari beberapa ayat di atas dapat dipahami bahwa kedudukan ikhlas sangat besar peranannya dalam suatu ibadah, baik ibadah dalam arti khusus maupun umum. Faktor keikhlasan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan suatu perbuatan itu dapat diterima atau ditolak oleh Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan oleh Ibn Katsir ketika menafsirkan surat al-A’raf: 29 di atas, bahwa Allah memerintahkan agar istiqamah dalam beribadah, yaitu dengan cara mengikuti ajaran para rasul dan ikhlas dalam beribadah; karena Allah SWT tidak akan menerima suatu amal sehingga terpenuhi dua rukun, yaitu: pertama, amal perbuatan itu harus dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum syari’at, dan kedua, amal perbuatan tersebut harus bersih dari tindakan syirik.
Jika kita mengacu kepada rukun yang pertama, maka supaya suatu perbuatan dapat diterima oleh Allah, harus dilaksanakan berdasarkan syari’at Islam sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai landasannya, antara lain harus didahului dengan niat, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW. yang artinya, Sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Karena pentingnya hadits tersebut, imam Bukhari—diikuti oleh banyak penyusun hadits lainnya—meletakkannya diawal kitabnya al-Jami’ al-shahih. Ini menunjukkan pentingnya niat dan melepaskan diri dari berbagai kepentingan pribadi dan dunia dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan yang ditujukan untuk kehidupan akhirat. Lebih tegas lagi mereka mengatakan bahwa hadits ini merupakan seperempat Islam, atau bahkan sepertiganya.
Selain itu, secara praktis setiap perbuatan harus dilaksanakan sesuai dengan yang telah diajarkan oleh nabi SAW., sebagaimana sabda beliau yang, artinya: Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka perbuatan itu tertolak. (HR. Muslim)

Selanjutnya bila kita mengacu pada rukun yang kedua, supaya amal perbuatan diterima oleh Allah, maka amal tersebut harus bersih dari perbuatan syirik. Artinya setiap amal perbuatan harus didasari keikhlasan kepada Allah SWT.. Karena ikhlas sangat erat kaitannya dengan kemurnian tauhid, aqidah yang benar, dan tujuan yang jelas. Hal ini sangat beralasan, terbukti dengan banyaknya ayat al-Qur’an yang memerintahkan manusia bersikap ikhlas yang diturunkan pada periode Mekkah yang terdapat dalam surat az-Zumar ayat 3 yang artinya, Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya." Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar..
Lawan dari sikap ikhlas adalah sikap riya’. Bila ikhlas adalah beribadat atau beramal shaleh untuk mendekatkan diri kepada Allah (karena Allah), maka riya’ adalah beribadat atau beramal karena manusia atau karena selain Allah. Menurut Abu Bakar al-Jazaa’iri, hakikat riya’ adalah keinginan seseorang dalam melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Tetapi motifnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kehormatan di kalangan manusia.
Meskipun riya’ tersebut merupakan penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Lebih lanjut, al-Jazaa’iri merincikan beberapa tanda orang yang riya’ sebagai berikut:
1. Seseorang yang bertambah ketaatannya bila dipuji, tetapi berkurang atau bahkan meninggalkan bila mendapat celaan dan ejekan.
2. Tekun bila beribadat di depan orang banyak, tetapi malas bila sendirian.
3. Mau memberi sedekah bila dilihat orang banyak, tetapi enggan bila tidak ada orang yang melihatnya.
4. Berkata dan berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Melainkan karena manusia juga atau semata-mata karena pamrih kepada manusia.

Sikap riya’ merupakan salah satu bagian dari syirik yang dapat membuat amal kebajikan yang telah dikerjakan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT.. Sebagaiman sabda Rasulullah SAW yang artinya: Sesungguhnya yang paling saya takutkan terhadap sesuatu yang saya takuti menimpa kalian adalah syirik yang terkecil. Mereka bertanya: Apakah syirik yang terkecil itu wahai Rasulullah?, jawabnya adalah riya’. Pada hari kiamat nanti, ketika seorang hamba akan mendapatkan balasan atas apa yang mereka kerjakan, Allah SWT. akan berfirman: Pergilah kalian kepada orang-orang yang dulu kalian berbuat riya’ kepada mereka ketika di dunia, dan lihatlah apakah kalian mendapatkan balasan dari mereka atas apa yang kalian kerjakan.

Di dalam al-Qur’an juga terdapat beberapa ayat yang menjelaskan tentang sia-sianya amal seseorang karena bermotifkan riya’, seperti diuraikan dalam surat al-Baqarah: 264. Pada ayat ini dijelaskan bahwa perumpamaan orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia adalah bagaikan batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat sehingga menjadi bersih tanpa bekas. Maka demikianlah sia-sianya amal (infak) orang-orang yang riya’ dan musyrik, bagi mereka tidak ada balasan (pahala) di akhirat nanti.
Hal yang serupa juga dijelaskan dalam surat al-ma’un ayat 4-6, yaitu berupa ancaman bagi orang-orang yang melakukan shlat dengan lalai dan berbuat riya’. Demikian juga diuraikan dalam surat al-Taubah: 107 perihal orang-orang yang membangun mesjid yang tujuannya untuk menimbulkan kemudharatan dan perpecahan di kalangan orang-orang mukmin.
Dari beberapa penjelasan dan contoh kasus di atas, dapat dipahami bahwa amal yang benar dan sesuai dengan tuntutan syari’at Islam belum pasti diterima oleh Allah SWT. jika tidak disertai dengan niat yang ikhlas dan dikerjakan semata-mata untuk mendapatkan keridhaan-Nya. Demikian pula sebaliknya, niat yang ikhlas semata-mata belum menjamin amal perbuatan seseorang akan diterima Allah SWT. jika tidak sesuai dengan yang telah digariskan syari’at islam.

Makna Ikhlas dalam al-Qur’an

Secara etimologis, kata ikhlas merupakan bentuk mashdar dari kata akhlasha yang berasal dari akar kata khalasha. Menurut Luis Ma’luuf, kata khalasha ini mengandung beberapa macam arti sesuai dengan konteks kaliamatnya. Ia bisa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala (sampai), dan I’tazala (memisahkan diri).
Bila diteliti lebih lanjut, kata ikhlas sendiri sebenarnya tidak dijumpai secara langsung penggunaannya dalam al-Qur’an. Yang ada hanyalah kata-kata yang berderivat sama dengan kata ikhlas tersebut. Secara keseluruhan terdapat dalam tiga puluh ayat dengan penggunaan kata yang beragam. Kata-kata tersebut antara lain : kata khalashuu, akhlashnaahum, akhlashuu, astakhlish, al-khaalish, dan khaalish masing-masing sebanyak satu kali. Selanjutnya kata khaalishah lima kali, mukhlish (tunggal) tiga kali, mukhlishuun (jamak) satu kali, mukhlishiin (jamak) tujuh kali, mukhlash (tunggal) satu kali, dan mukhlashiin (jamak) sebanyak delapan kali.
Selanjutnya, ditinjau dari segi makna, term ikhlas dalam al-Qur’an juga mengandung arti yang beragam. Dalam hal ini al-Alma’i merinci pemakaian term tersebut kepada empat macam :
Pertama, ikhlas berarti al-ishthifaa’ (pilihan) seperti pada surat Shaad : 46-47. Di sini al-Alma’i mengutip penafsiran dari Ibn al-Jauzi terhadap ayat tersebut yang intinya bahwa Allah telah memilih mereka dan menjadikan mereka orang-orang yang suci. Penafsiran yang sama juga dikemukakan oleh al-Shaabuuni dalam tafsirnya Shafwah al-Tafaasiir, yakni “Kami (Allah) istimewakan mereka dengan mendapatkan kedudukan yang tinggi yaitu dengan membuat mereka berpaling dari kehidupan duniawi dan selalu ingat kepada negeri akhirat.” Dengan demikian terdapat kaitan yang erat (munaasabah) antara ayat 46 dengan 47, yakni ayat yang sesudahnya menafsirkan ayat yang sebelumnya.
Kedua, ikhlas berarti al-khuluus min al-syawaa’ib (suci dari segala macam kotorn), sebagaimana tertera dalam surat an-Nahl : 66 yang membicarakan tentang susu yang bersih yang berada di perut binatang ternak, meskipun pada mulanya bercampur dengan darah dan kotoran ; kiranya dapat dijadikan pelajaran bagi manusia. Makna yang sama juga terdapat dalam surat al-zumar : 3, walaupun dalam konteks yang berbeda. Dalam ayat tersebut dibicarakan tentang agama Allah yang bersih dari segala noda seperti syirik, bid’ah dan lain-lain.
Ketiga, ikhlas berarti al-ikhtishaash (kekhususan), seperti yang terdapat pada surat al-Baqarah : 94, al-An’am : 139, al-A’raf : 32, Yusuf : 54, dan al-Ahzab : 32.
Keempat, ikhlas berarti al-tauhid (mengesakan) dan berarti al-tathhir (pensucian) menurut sebagian qira’at. Ikhlas dalam artian pertama inilah yang paling banyak terdapat dalam al-Qur’an, antara lain terdapat dalam surat al-Zumar : 2,11,14, al-Baqarah : 139, al-A’raf : 29, Yunus : 22, al-Ankabut : 65, Luqmaan : 32, Ghaafir : 14,65, an-Nisaa : 146, dan al-Bayyinah : 5. Dalam ayat-ayat tersebut, kata-kata yang banyak digunakan adalah dalam bentuk isim fa’il (pelaku), seperti mukhlish (tunggal) dan mukhlishuun atau mukhlshiin (jamak). Secara leksikal kata tersebut dapat diartikan dengan al-muwahhid (yang mengesakan). Dalam konteks inilah kiranya surat ke-112 dalam al-Qur’an dinamakan surat al-ikhlaas, dan kalimat tauhid (laa ilaaha illa Allah) disebut kalimat al-ikhlas. Dengan demikian makna ikhlas dalam ayat-ayat di atas adalah perintah untuk selalu mengesakan Allah dalam beragama, yakni dalam beribadah, berdo’a dan dalam perbuatan taat lainnya harus dikerjakan semata-mata karena Allah; bukan karena yang lain. Itulah sebabnya mengapa term ikhlas pada ayat-ayat di atas selalu dikaitkan dengan al-diin.
Adapun ikhlas dalam arti yang kedua (al-tathhiir) ditujukan kepada orang-orang yang telah disucikan Allah hatinya dari segala noda dan dosa sehingga mereka menjadi hamba Allah yang bersih dan kekasih pilihan-Nya. Hal ini seperti yang tercantum dalam surat Yusuf : 24, al-Hijr : 40, al-shaffat : 40,74,128,166,169, Shaad : 83, dan surat Maryam : 51. Pada ayat-ayat tersebut semuanya memakai kata mukhlashiin (jamak) kecuali surat Maryam : 51 yang memakai bentuk tunggal (mukhlash). Selain itu semua kata mukhlashiin dalam ayat-ayat tersebut selalu dikaitkan dengan kata ibaad (hamba).
Demikianlah beberapa makna ikhlas yang terdapat dalam al-Qur’an. Pembahasan selanjutnya dalam tulisan ini akan lebih difokuskan pada makna ikhlas dalam arti yang keempat (mengesakan)

Konsep Khauf

Menurut Hamka, Khauf merupakan rasa takut yang timbul karena adanya azab, siksa dan kemurkaan dari Allah. Oleh sebab itu diri seseorang mesti meneliti keadaannya dengan cara bermuhâsabah dan bermurâqabah, kemudian memberikan perhatian kepadanya sehingga terlihat mana aib dan cacat diri, serta kekurangan-kekurangan yang harus diperbaiki. .

Mengenai perintah untuk memiliki rasa takut, Allah berfirman di dalam al Qur’an;
وَخَافُونِ إِن كُنتُم مُؤمِنِينَ
“Maka takutlah kamu kepada-Ku jika kamu orang-orang yang beriman” (QS.Ali Imran: 175)
Melalui firman Allah ini Hamka memberikan penjelasan tentang ketegasannya untuk senantiasa meletakkan posisi rasa takut yang ada pada diri manusia hanya kepada Allah semata. Betapapun banyaknya musuh yang dihadapi seseorang, tidak perlu sangsi menghadapinya, sebab yang diperjuangkan oleh seorang muslim di dalam seluruh hidupnya tidak lain hanyalah kebenaran yang datang dari Allah. Lantaran itu tidak ada kegentaran menghadapi maut. Karena hidup itu sendiri tidak ada artinya kalau tidak ada keberanian menghadapi segala macam kemungkinan di dalam mempertahankan pendirian.

Tentang sifat takut yang berkonotasi negatif Hamka sebutkan sebagai sesuatu yang lahir dari sifat jubun (kemarahan yang telah dingin membeku). Yaitu rasa takut karena menyangka, adanya bahaya atau perkara yang tidak diinginkan. Ia membayangkan terjadinya sesuatu yang belum pasti terjadi baik perkara besar maupun kecil. Menurut Hamka, rasa takut seperti ini akan menghilangkan rasa kebahagiaan, sebab hidup yang bahagia adalah hidup yang mempunyai persangkaan dan pengharapan yang baik, cita-cita yang kuat, angan-angan yang teguh, dan jangan terlalu banyak memikirkan sesuatu yang belum tentu terjadi. Sebagai contoh, Hamka menyebutkan keberadaan seseorang yang enggan berniaga karena takut rugi, enggan menyewa toko besar takut tidak terbayar sewanya, enggan beristri takut tidak terbelanjai nafkahnya. Oleh karenanya dalam bukunya yang lain Hamka menasehatkan; “Jangan takut menghadapi suatu kegagalan karena dengan kegagalan itu kita juga akan dapat memperoleh pengetahuan tentang segi-segi kelemahan, atau kekuatan diri kita yang akan ditakuti ialah gagal dua kali dalam satu hal yang serupa.” Juga pada alinia lain Hamka bernasihat: “Jangan takut jatuh, karena tidak pernah memanjatlah yang tidak pernah jatuh. Jangan takut gagal, karena yang tidak pernah gagal hanyalah orang yang tidak pernah mencoba berusaha. Jangan takut salah, karena dengan kesalahan yang pertama kita dapat menambah pengetahuan untuk mencari jalan yang benar pada langkah yang kedua.”

Di samping rasa takut yang banyak jumlahnya itu, Hamka secara lebih khusus menyoroti sikap takut terhadap sesuatu yang disebut “kematian.” Dalam bukunya Tasawuf Modern, Hamka memberikan porsi sangat banyak untuk membicarakan masalah ini panjang lebar. Menurut Hamka, seseorang takut mati dikarenakan enam hal; (1) tidak tahu hakikat mati, (2) tidak insaf kemana kita pergi sesudah mati, (3) takut kena siksa, (4) tidak tahu kemana diri sesudah mati, (5) takut sedih akan meninggalkan harta, (6) takut sedih karena meninggalkan anak. Oleh sebab itulah, persaan takut seperti ini harus dilawan dengan pemahaman yang benar terhadap hakikat kematian secara menyeluruh. Artinya, seseorang mesti memiliki ilmu yang benar mengenai proses kematian dan akhir dari perjalanannya. Hamka sendiri menegaskan bahwa rasa takut terhadap kematian yang bersifat negatif ini di sebabkan oleh kebodohan.

Sebenarnya, takut akan kematian akan membawa dampak positif bila kemudian disikapi dengan baik pula. Rasa takut akan kematian akan menimbulkan tindakan positif berupa persiapan diri untuk menghadapinya, sebagaimana dikatakan oleh Imam Al Qhurtibi dalam kitabnya “At Tadzkirah fî Ahwâlil Mauta wa Umûril âkhirah.” Ia mengutip pendapat Ad Daqôq yang mengatkan bahwa; “Barang siapa memperbanyak mengingat kematian, maka ia akan dikaruniai tiga keutamaan. Pertama, dimudahkan dirinya untuk bertaubat, kedua, diberikan sikap qanâ’ah pada hati, dan ketiga, mampu untuk rajin dalam beribadah.

Hamka menambahkan tentang keadaan manusia dalam mengingat mati ada tiga golongan; (1) tidak mengingatnya sama sekali, (2) mengingatnya dengan kegentaran dan ketakutan, (3) mengingatnya dengan akal budi dan hikmah. Adapun kelompok yang terakhir inilah, yang sanggup mengambil hikmah dari potensi rasa khauf yang ada dalam dirinya.

Konsep Ikhlas

Memaknakan tentang ikhlas, Hamka memulai dengan defnisi ikhlas itu sendiri. Ikhlas menurut Hamka dari segi arti bahasa adalah; bersih, tidak ada campuran, ibarat emas tulen, tidak ada campuran perak berapa persenpun. Dan pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu dinamakan al ikhlâs. Misalnya, seseorang yang mengerjakan sesuatu perkerjaan semata-mata kerena mengharap puji dari majikan, maka ikhlas amalannya itu karena majikan dan untuk majikan tersebut. Atau seseorang yang memburu harta dari pagi hingga sore dengan tidak bosan-bosan karena semata-mata memikirkan perut, maka ikhlasnya itu ditujukan kepada perutnya. Demikian permisalan yang Hamka terangkan. Demikian halnya dengan Sa’id Hawwa, ia juga menjelaskan jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khôlis (yang bersih). Sementara pekerjaan membersihkannya disebut al ikhlâs. Sa’id Hawwa mengartikan orang yang ikhlas adalah mereka yang tidak ada motivasi yang membangkitkannya kecuali motivasi bertaqarrub kepada Allah saja.


Sementara itu, lawan dari pada ikhlas adalah isyrâk yang artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Keduanya, antara ikhlas dan syririk ini menurut Hamka tidaklah dapat disatukan., sebagaimana tidak dapat dipertemukannya antara gerak dan diam. Hamka menjelaskan bahwa keikhlasan tidak dapat tegak tanpa adanya shiddîq (sifat benar). Demikian itu dikarenakan kebenaran dalam diri seseorang menjauhkan dirinya dari keadaan hipokrit (munafik). Dengan ini Hamka menjelaskan pendiriannya bahwa, “Ikhlas tidak dapat dipisahkan dengan shiddîq (benar). Orang yang mulutnya mengaku benar, tetapi hatinya berdusta, masuk jugalah dia ke dalam golongan pendusta.” Hamka mengarahkan usaha keikhlasan kepada empat hal. Berdasarkan kepada hadits Rasulullah dari sahabat Ad Dari di mana Rasulullah salallâhu ‘alaihi wasallam bersabda;
الدِّينُ النَّصِيحَةُ.قُلنَا: لِمَن ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّتِهِ المُسلِمِينَ وَعَامَّتِهِم.
“Agama itu nasihat.” Kemudian kami (para sahabat) berkata; “kepada siapakah nasihat itu ?.” Rasulullah menjawab; “kepada Allah, kepada kitabNya, kepada rasulNya, kepada kepala-kepala kaum muslimin dan bagi kaum muslimin semuanya.” (HR. Ad Darimi)

Yang dimaksud dengan kata nasîhah dalam hadits ini merujuk pada pengertian ikhlas. Sebagaimana Hamka menyetujui arti ikhlas dengan persamaan kata nasuha yang diungkapkan oleh kamus “Misbâhul Munîr”, di mana di situ pengarang menyamakan arti nasihat dengan empat perkara; ikhlas, tulus, musyawarat dan amal. Keikhlasan adalah kekuatan untuk berbuat, ketangguhan untuk menghadapi cobaan yang diberikan Allah, dan kesanggupan untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Bustami Ibrahim, salah seorang rekan Hamka dalam bukunya Budi dan Kehidupan Diri dan Masyarakat menyebutkan ikhlas sebagai nyawa segala kerja. Kerja yang betapapun juga besarnya menurutnya, bila mana tidak disertai dengan keikhalasan, umumnya usaha itu bisa diibaratkan seperti kayu besar yang dimakan bubuk.

Rabu, 16 November 2011

Ketika Langit berwarna Merah Mawar - Tafsir Surat Ar Rahman (55) ayat 37



فَإِذَا ٱنشَقَّتِ ٱلسَّمَآءُ فَكَانَتۡ وَرۡدَةً۬ كَٱلدِّهَانِ
Maka apabila langit terbelah dan menjadi merah mawar seperti [kilapan] minyak.
Ar Rahman (55): 37
Gambar
 yang diklaim sebagai bukti kebesaran Allah, bukti kebenaran tafsir 
surat Ar-rahman
Ini gambar yang dijadikan rujukan sebagai tafsir dari salah satu ayat dari surat Ar-Rahman:
Maka apabila langit telah terbelah dan menjadi merah mawar seperti (kilapan) minyak.
Dikatakan bahwa gambar ini, yang merupakan hasil tangkapan dari Teleskop ruang angkasa Hubble, menunjukkan bahwa jika nanti bintang meledak, maka hasilnya adalah warna merah seperti mawar. Bahkan dalam beberapa email yang beredar, dinyatakan bahwa seharusnya gambar ini, - sebuah nebula -, seharusnya dinamai 'Oily Red Rose Nebula' (Nebula Mawar Merah yang Berkilap), agar sesuai dengan arti ayat di atas.
Dalam ayat itu disebutkan langit yang terbelah. Apakah ini gambar langit? Sumber dari NASA/Hubble menyatakan bahwa itu adalah hasil ledakan sebuah bintang. Dari bumi, ia hanyalah bagian amat kecil dari langit. Bahkan hampir tak terlihat oleh mata kepala.
Nebula
 Mawar Merah itu sebenarnya lebih berwarna hijau seperti mata kucing, 
sehingga para astronomer menamainya Cat's Eye Nebula
Ini gambar yang sama dengan skema warna yang lain. Warna ini lebih mendekati warna kalau dilihat dengan mata atau warna aslinya (referensi 1, 2). Astronomer memberi nama benda angkasa ini Cat's Eye Nebula (Nebula Mata Kucing), karena memang warnanya yang hijau dan bentuknya yang bulat seperti mata kucing.
Dalam situs web Teleskop Hubble sendiri dikatakan bahwa, warna yang tertampil dalam berbagai foto obyek angkasa dari Hubble tidak selamanya menunjukkan warna asli jika dilihat dengan mata. Hubble menggunakan warna untuk berbagai tujuan: menampakkan detail, memperlihatkan struktur tertentu yang tidak bisa dilihat mata, dsb.
"The colors in Hubble images, which are assigned for various reasons, aren't always what we'd see if we were able to visit the imaged objects in a spacecraft. We often use color as a tool, whether it is to enhance an object's detail or to visualize what ordinarily could never be seen by the human eye." (Referensi)
Nah, jadi gimana nih? Merah atau Hijau, warnanya???
Gambar
 nebula Mata Kucing dalam skema warna lain. Dalam hal ini lebih biru 
untuk menunjukkan pendaran atom oksigen
Astronomer biasanya "mewarnai" hasil "tangkapan" mereka dengan warna-warna yang bermakna khusus untuk menganalisa komposisi atau struktur dari benda angkasa. Misalnya, pada gambar ini, biru adalah warna untuk pendaran atom Oksigen.
Jadi, jelaslah bahwa warna sebenarnya dari gambar nebula yang dijadikan sebagai bukti dari ayat 37 surat Ar-Rahman tersebut tidaklah merah mawar.
Banyak sekali nebula-nebula seperti ini yang telah ditemukan dan dipelajari oleh para ahli perbintangan. Warna mereka pun sangat beragam. Semuanya menunjukkan kejadian masa lalu, karena apa yang tertangkap oleh teleskop adalah cahaya yang telah mengarungi angkasa ribuan tahun cahaya lamanya. Banyak di antara mereka yang menunjukkan nasib berbagai bintang ketika menemui ajalnya. Namun tak sedikit pula nebula yang merupakan tempat lahirnya bintang-bintang baru.
Cukuplah, menurut saya, gambar ini membuktikan kebesaran Allah, dalam artian bahwa bintang-bintang nantinya akan dihancurkan. Matahari kita juga akan menemui ajalnya kelak. Mungkin dengan ledakan hebat seperti Nebula di atas. Ledakannya, boleh jadi akan melumat bumi dan isinya. Ketika itulah, mungkin, apa yang digambarkan Allah tentang terbelahnya langit terjadi. Dan hal tersebut merupakan perkara kecil dan mudah bagi Allah.

BERILMU

مَنْ اَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ الْأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ (الحديث)

Barang siapa menginginkan dunia, maka ia harus berilmu. Barang siapa menginginkan akhirat, maka ia harus berilmu. Dan barang siapa menginginkan dunia akhirat, maka ia juga harus berilmu ( Al – Hadits)

Mau jadi apa saja, syaratnya punya ilmu. Sholat, puasa, haji bisa dilakukan dengan baik kalau punya ilmu. Ilmu adalah pelita yang menerangi, cahaya yang mencerahkan. Berkat ilmu, perilaku jadi terbimbing, ucapan jadi berbobot. Seperti bintang ilmu, menunjukkan arah. Arah yang jelas membuat tujuan menjadi jelas. Maka ilmu adalah kunci untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat sekaligus.

Kalau ilmu itu cahaya bagi jiwa, maka kebodohan justru menjadi duri bagi jiwa. Kebodohan merupakan bukti kegersangan jiwa, kehidupan yang sia – sia, umur yang percuma. Kebahagian bermula dari ilmu. Ilmu yang menuntun seseorang menuju kepada kebahagiaan. Sebab, ilmu bisa membedakan baik buruk, mengungkap yang tersembunyi, memperjelas hal – hal yang samar. Hidup tanpa ilmu akan menjemukan. Tak ada perkembangan, tak ada kemajuan. Dulu, kini, dan esok sama saja. Tak ada perubahan yang berarti dalam hidup.

Ilmu lebih utama ketimbang harta. Ilmu menjaga kita, tapi harta malah harus kita jaga. Ilmu tak berat dipikul, tapi harta berat dibawa. Kemana pun pergi, ilmu mengikuti dan menunjuki. Tidak demikian dengan harta. Selain berat, membawa harta juga tidak aman. Kejahatan senantiasa mengintai.

Ketika Rasulullah SAW ditanya tentang amal yang paling utama, beliau menjawab, “ILMU”, si penanya merasa heran. Yang ditanyakan amal, tapi jawaban beliau : ILMU. Menanggapi keheranan orang itu, beliau memberi penjelasan. Bahwa amal tanpa ILMU adalah SESAT.

Ilmu menunjukkan yang hak dan yang batil. Ilmu juga membantu kita menghilangkan rasa gundah, suntuk, dan sedih. Ilmu memberi solusi dan kemudahan. Dan kemudahan adalah salah satu sarana untuk meraih kebahagiaan. Ketika tak ada air, tayamum diperbolehkan. Tak perlu repo – repot mencari air, sebab tahu ada rukhsah (keringanan).

Sangatlah beralasan kalau wahyu pertama yang diterima Nabi SAW itu adalh perintah membaca (iqra’: bacalah). Mengapa membaca? Sebab, membaca adalh gerbang ilmu. Orang berilmu hamper bisa dipastikan seorang kutu buku. Membaca, memiliki banyak manfaat. Membaca dapat menghilangkan perasaan waswas, gundah dan sedih. Membaca dapat membuat hati dan pikiran tercerahkan. Membaca dapat memperluas cakrawala ilmu dan pemahaman. Membaca bisa membuat pikiran lebih tenang, hati lebih terbimbing, dan waktu lebih bermanfaat.

Ilmu melandasi semua hal. Akidah, ibadah, dan muamalah mesti berlandaskan ilmu. Maka sangatlah beralasan kalau islam mewajibkan pemeluknya untuk menuntut ilmu, sebagaimana disebutkan dalam Hadits ;

قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اُطْلُبُوا الْعِلْمِ وَلَوْ بِالصِّيْنْ فَاِنَّ طَلَبَ الْعِلْمْ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ اِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَضَعُ اَجْنِحَتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا بِمَا يَطْلُبُ

Artinya : Rasulullah bersabda : Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu iu wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap – sayap mereka kepada para penuntut ilmu karena senang (rela) dengan yang ia tuntut. (H. R. Ibnu Abdil Bar )

Melalui hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar tersebut diatas, agama Islam memerintahkan semua pemeluknya untuk menuntut ilmu pengetahuan walaupun harus berkelana meninggalkan kampong – kampong halaman, karena dengan ilmu pengetahuan itu manusia dapat berkarya, berprestasi dan beribadah dengan sempurna. Begitu pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia, Rasulullah mewajibkan kepada umatnya menuntut ilmu, baik laki – laki maupun perempuan.

Menuntut ilmuiu wajib bagi setiap muslim laki-laki atau perempuan, karena ilmu sangat dibutuhkan setiap saat, misalnya ilmunya sholat, puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Dengan ilmu itu manusia akan dapat mengetahui batas – batas mana yang boleh dilakukan atau mana yang tidak boleh dilakukan, baik itu yang berhubungan dengan Allah (حبل من الله), maupun yang berhubungan dengan sesame manusia (حبل من الناس), sebagai bekal untuk mengarungi kehidupan manusia demi tercapainya kebahagiaan dan dan keselamatan dunia dan akhirat.

Di dalam menuntut ilmu tidaklah terbatas dengan ilmu yang bersifat duniawi saja tetapi juga tentang ilmu yang bersifat ukhrawi, karena kunci kebahagiaan dan keberhasilan seseorang adalah dengan ilmu, baik dunia maupun akhirat.