Memaknakan tentang ikhlas, Hamka memulai dengan defnisi ikhlas itu sendiri. Ikhlas menurut Hamka dari segi arti bahasa adalah; bersih, tidak ada campuran, ibarat emas tulen, tidak ada campuran perak berapa persenpun. Dan pekerjaan yang bersih terhadap sesuatu dinamakan al ikhlâs. Misalnya, seseorang yang mengerjakan sesuatu perkerjaan semata-mata kerena mengharap puji dari majikan, maka ikhlas amalannya itu karena majikan dan untuk majikan tersebut. Atau seseorang yang memburu harta dari pagi hingga sore dengan tidak bosan-bosan karena semata-mata memikirkan perut, maka ikhlasnya itu ditujukan kepada perutnya. Demikian permisalan yang Hamka terangkan. Demikian halnya dengan Sa’id Hawwa, ia juga menjelaskan jika sesuatu itu bersih dan terhindar dari kotoran, maka itu dinamakan khôlis (yang bersih). Sementara pekerjaan membersihkannya disebut al ikhlâs. Sa’id Hawwa mengartikan orang yang ikhlas adalah mereka yang tidak ada motivasi yang membangkitkannya kecuali motivasi bertaqarrub kepada Allah saja.
Sementara itu, lawan dari pada ikhlas adalah isyrâk yang artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Keduanya, antara ikhlas dan syririk ini menurut Hamka tidaklah dapat disatukan., sebagaimana tidak dapat dipertemukannya antara gerak dan diam. Hamka menjelaskan bahwa keikhlasan tidak dapat tegak tanpa adanya shiddîq (sifat benar). Demikian itu dikarenakan kebenaran dalam diri seseorang menjauhkan dirinya dari keadaan hipokrit (munafik). Dengan ini Hamka menjelaskan pendiriannya bahwa, “Ikhlas tidak dapat dipisahkan dengan shiddîq (benar). Orang yang mulutnya mengaku benar, tetapi hatinya berdusta, masuk jugalah dia ke dalam golongan pendusta.” Hamka mengarahkan usaha keikhlasan kepada empat hal. Berdasarkan kepada hadits Rasulullah dari sahabat Ad Dari di mana Rasulullah salallâhu ‘alaihi wasallam bersabda;
الدِّينُ النَّصِيحَةُ.قُلنَا: لِمَن ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّتِهِ المُسلِمِينَ وَعَامَّتِهِم.
“Agama itu nasihat.” Kemudian kami (para sahabat) berkata; “kepada siapakah nasihat itu ?.” Rasulullah menjawab; “kepada Allah, kepada kitabNya, kepada rasulNya, kepada kepala-kepala kaum muslimin dan bagi kaum muslimin semuanya.” (HR. Ad Darimi)
Sementara itu, lawan dari pada ikhlas adalah isyrâk yang artinya berserikat atau bercampur dengan yang lain. Keduanya, antara ikhlas dan syririk ini menurut Hamka tidaklah dapat disatukan., sebagaimana tidak dapat dipertemukannya antara gerak dan diam. Hamka menjelaskan bahwa keikhlasan tidak dapat tegak tanpa adanya shiddîq (sifat benar). Demikian itu dikarenakan kebenaran dalam diri seseorang menjauhkan dirinya dari keadaan hipokrit (munafik). Dengan ini Hamka menjelaskan pendiriannya bahwa, “Ikhlas tidak dapat dipisahkan dengan shiddîq (benar). Orang yang mulutnya mengaku benar, tetapi hatinya berdusta, masuk jugalah dia ke dalam golongan pendusta.” Hamka mengarahkan usaha keikhlasan kepada empat hal. Berdasarkan kepada hadits Rasulullah dari sahabat Ad Dari di mana Rasulullah salallâhu ‘alaihi wasallam bersabda;
الدِّينُ النَّصِيحَةُ.قُلنَا: لِمَن ؟ قَالَ: لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلأَئِمَّتِهِ المُسلِمِينَ وَعَامَّتِهِم.
“Agama itu nasihat.” Kemudian kami (para sahabat) berkata; “kepada siapakah nasihat itu ?.” Rasulullah menjawab; “kepada Allah, kepada kitabNya, kepada rasulNya, kepada kepala-kepala kaum muslimin dan bagi kaum muslimin semuanya.” (HR. Ad Darimi)
Yang dimaksud dengan kata nasîhah dalam hadits ini merujuk pada pengertian ikhlas. Sebagaimana Hamka menyetujui arti ikhlas dengan persamaan kata nasuha yang diungkapkan oleh kamus “Misbâhul Munîr”, di mana di situ pengarang menyamakan arti nasihat dengan empat perkara; ikhlas, tulus, musyawarat dan amal. Keikhlasan adalah kekuatan untuk berbuat, ketangguhan untuk menghadapi cobaan yang diberikan Allah, dan kesanggupan untuk menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Sebagaimana Bustami Ibrahim, salah seorang rekan Hamka dalam bukunya Budi dan Kehidupan Diri dan Masyarakat menyebutkan ikhlas sebagai nyawa segala kerja. Kerja yang betapapun juga besarnya menurutnya, bila mana tidak disertai dengan keikhalasan, umumnya usaha itu bisa diibaratkan seperti kayu besar yang dimakan bubuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar